Nama : Hafif Maarif
Nim : 170110301094
REVIEW
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari perbedaan-perbedaaan berdasarkan ras, suku, agama, dan lain-lain. Kemajemukan ini yang juga membentuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terbentuk melalui adanya integrasi nasional. Sifat-sifat masyarakat majemuk akan membentuk integrasi sosial. Pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal (Anon, n.d: 61).
Secara sosiologis sturktur sosial masyarakat Indonesia hampir tidak mengalami perubahan secara signifikan. Struktur sosial masyarakat bergerak sangat lambat dan nyaris tidak berubah. Oleh karena itu, struktur masyarakat Jawa khususnya sejak masa kerajaan sampai sekarang tidak jauh berbeda. Hanya saja Struktur masyarakat sekarang lebih terdiferensi. Pada umumnya ada tiga kelompok struktur sosial, yaitu kelompok masyarakat atas, tengah, dan bawah. Kelompok sosial atas ditempati oleh penguasa tertinggi di kerajaan, yaitu seorang raja dan keluarganya, yaitu bangsawan. Kelompok sosial tengah, yaitu para priyayi yang sebagian menjabat sebagai birokrat kerajaan, sedang kelompok sosial bawah terdiri dari tani dan buruh. Bagaimana hubungan antar kelompok sosial itu tergantung dengan hubungan feodal yang menghubungkan antar mereka. Dalam hubungan sosial yang lebih lanjut tugas kelompok sosial itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Gusti yang mewakili kelompok bangsawan dan priyayi yang disebut sebagai wong gedhe. Di pihak lain ada kelompok wong cilik yang terdiri dari para Tani. Sebagaimana yang lazim berlaku dalam masyarakat feodal, yaitu masyarakat yang perkembangannya sangat tergantung dari dinamika fungsi tanah. Semakin luas tanah yang memiliki dalam bentuk tanah apanage atau lungguh, maka kekayaan dan kekuasaan makin besar. Hal ini tercermin dalam bentuk banyaknya pengikut yang dalam istilah kuno disebut gondhal atau begondhal dan istilah mutakhir adalah kroni. Mereka mirip, prajurit yang mampu melakukan tekanan politik untuk memenangkan perang dengan lawan penguasa. Di tiap lapisan sosial masyarakat itu ada golongan minoritas, yaitu kelompok artisan, pedagang, dan ulama (Wahyuni: 18-9)
Sedangkan menurut van den Berghe struktur social yang terjadi pada masyarakat Indonesia dapat dijelaskan dengan adanya integrasi nasional, dengan sifatnya yang pertama yakni terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain. Struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. Kurang berkembangnya konsensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. Keempat yakni konflik yang terjadi diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain bersifat relatif. Selanjutnya adalah integrasi sosial yang tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi. Dan terakhir yakni adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain (Anon, n.d: 61).
Sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua hal landasan, yaitu (1) tumbuhnya konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental dan (2) berbagai-bagai anggota masyarakat sekaligus menjadi dari berbagai-bagai kesatuan sosial (cross-culture affiliations). Di tengah kemajemukan, masyarakat Indonesia juga menghadapi masalah lain. Masyarakat Indonesia akan rawan terhadap konflik di tengah-tengah kemajukannya akan berbagai sub-kebudayaan. Dalam hal ini, terdapat dua macam tingkatan konflik, yaitu (1) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat ideologis dan (2) konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politis. Dengan adanya potensi konflik dalam masyarakat majemuk, muncul pendekatan yang didasarkan pada konflik. Menurut pendekatan konflik ini, masyarakat majemuk dapat berintegrasi karena (1) adanya paksaan (coercion) dari suatu kelompok atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan sosial yang lain; dan/atau karena (2) adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok atau kesatuan sosial dalam bidang ekonomi (Anon, n.d: 63-4).
Referensi :
Anon, n.d. Struktur Masyarakat Indonesia dalam Masalah Integrasi Nasional dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, pp. 61-87
Wahyuni, "AGAMA DAN PEMBENTUKAN STRUKTUR SOSIAL pertautan agama, budaya dan tradisi sosial", (Jakarta: prenadamedia group, 2018), pp. 18-19
Anilisis jurnal
Sabtu, 25 April 2020
Sabtu, 28 Maret 2020
PENGENALAN DAN TEORI DALAM KAJIAN SEJARAH SOSIAL
Ringkasan Bab 4 Teori-Teori Sosial (Bagian 2)
Pada bab ini memberikan pemaparan mengenai teori-teori soial yang dapat dijadikan rujukan untuk mengamati dan memahami fenomena sosio-historis. Beberapa hal yang dipaparkan antara lain:
Wanita dalam Sistem Sosial
Sejak abad ke-20, salah satu contoh di Laweyan wanita sudah memiliki kedudukan dan peran penting sebagai pengusaha batik. Sementara laki-laki hanya sekedar membantu apabila diperlukan. Hal tersebut berarti wanita tidak lagi sebagai gender ke-dua, melainkan juga sudah memiliki hak dan peran yang sama dalam segala segi kehidupan. Lebih lagi, fenomena peran wanita lebih ke bidang fashion dan tata rias dan modelling.
Korupsi
Korupsi dianggap sebagai penyakit dalam suatu Negara dan Pemerintahan. Mochtar Lubis mengatakan suatu “Korupsi yang berwajah banyak”. Didalamnya Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak hanya dapat terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan,tetapi juga dalam organiasasi usaha swasta. Dapat berupa pencurian uang negara/perusahaan atau juga suatu korupsi halus berupa korupsi politik.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial di Indonesia menunjukkan beberapa kategori:
Perbanditan sosial
Gerakan protes peraturan yang tidak adil
Gerakan yang bersifat revivalistis
Gerakan bercorak nativistis
Gerakan mesianistis
Gerakan yang dijiwai semangat perang sabil
Protes sosial
Berbeda dengan gerakan sosial yang dalam kegiatannya selain menolak dapat juga menerima, protes sosial lebih kepada kegiatan menolak sesuatu. Dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara kewajiban dan hak yang didapat, khususnya oleh kaum-kaum kecil, seperti buruh dan petani.
Ringkasan Bab 4 Teori-Teori Sosial (Bagian 2)
Pada bab ini memberikan pemaparan mengenai teori-teori soial yang dapat dijadikan rujukan untuk mengamati dan memahami fenomena sosio-historis.
Beberapa hal yang dipaparkan antara lain:
Wanita dalam Sistem Sosial
Sejak abad ke-20, salah satu contoh di Laweyan wanita sudah memiliki kedudukan dan peran penting sebagai pengusaha batik. Sementara laki-laki hanya sekedar membantu apabila diperlukan. Hal tersebut berarti wanita tidak lagi sebagai gender ke-dua, melainkan juga sudah memiliki hak dan peran yang sama dalam segala segi kehidupan. Lebih lagi, fenomena peran wanita lebih ke bidang fashion dan tata rias dan modelling.
Korupsi
Korupsi dianggap sebagai penyakit dalam suatu Negara dan Pemerintahan. Mochtar Lubis mengatakan suatu “Korupsi yang berwajah banyak”. Didalamnya Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak hanya dapat terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan,tetapi juga dalam organiasasi usaha swasta. Dapat berupa pencurian uang negara/perusahaan atau juga suatu korupsi halus berupa korupsi politik.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial di Indonesia menunjukkan beberapa kategori:
Perbanditan sosial
Gerakan protes peraturan yang tidak adil
Gerakan yang bersifat revivalistis
Gerakan bercorak nativistis
Gerakan mesianistis
Gerakan yang dijiwai semangat perang sabil
Protes sosial
Berbeda dengan gerakan sosial yang dalam kegiatannya selain menolak dapat juga menerima, protes sosial lebih kepada kegiatan menolak sesuatu. Dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara kewajiban dan hak yang didapat, khususnya oleh kaum-kaum kecil, seperti buruh dan petani.
Pada bab ini memberikan pemaparan mengenai teori-teori soial yang dapat dijadikan rujukan untuk mengamati dan memahami fenomena sosio-historis.
Beberapa hal yang dipaparkan antara lain:
Wanita dalam Sistem Sosial
Sejak abad ke-20, salah satu contoh di Laweyan wanita sudah memiliki kedudukan dan peran penting sebagai pengusaha batik. Sementara laki-laki hanya sekedar membantu apabila diperlukan. Hal tersebut berarti wanita tidak lagi sebagai gender ke-dua, melainkan juga sudah memiliki hak dan peran yang sama dalam segala segi kehidupan. Lebih lagi, fenomena peran wanita lebih ke bidang fashion dan tata rias dan modelling.
Korupsi
Korupsi dianggap sebagai penyakit dalam suatu Negara dan Pemerintahan. Mochtar Lubis mengatakan suatu “Korupsi yang berwajah banyak”. Didalamnya Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak hanya dapat terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan,tetapi juga dalam organiasasi usaha swasta. Dapat berupa pencurian uang negara/perusahaan atau juga suatu korupsi halus berupa korupsi politik.
Gerakan Sosial
Gerakan sosial di Indonesia menunjukkan beberapa kategori:
Perbanditan sosial
Gerakan protes peraturan yang tidak adil
Gerakan yang bersifat revivalistis
Gerakan bercorak nativistis
Gerakan mesianistis
Gerakan yang dijiwai semangat perang sabil
Protes sosial
Berbeda dengan gerakan sosial yang dalam kegiatannya selain menolak dapat juga menerima, protes sosial lebih kepada kegiatan menolak sesuatu. Dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara kewajiban dan hak yang didapat, khususnya oleh kaum-kaum kecil, seperti buruh dan petani.
Kamis, 17 Oktober 2019
Review jurnal Sri Lanka
Review Jurnal
Judul jurnal : Peran Diaspora Tamil dalam Konlik Sri Lanka Tahun 2002-2010
Penulis : Fatrakhul Yusa, Program Studi S1 Hubungan Iternasional, Universitas
Airlangga
Sumber Jurnal : JAHI, Vol 3 No. 3 Tahun 2014 Jurnal Analisis Hubungan Internasional
Reivewer : Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Ringkasan Pembahasan :
Diaspora Tamil selalu diidentikkan sebagai alat kampanye militer LTTE yang merupakan organisasi pemberontak Sri Lanka. Afliasi keduanya, selain berasal dari etnis yang sama adalah kontribusi mereka dalam perang sipil Sri Lanka yang telah dimulai sejak 1983. Aktivitas keduanya dinilai telah memperpanjang konflik Sri Lanka, namun peran apa yang sebenarnya dilakukan oleh diaspora Tamil? Dengan menggunakan pendekatan eskalasi dan deeskalasi Kriesberg dan Thorson, serta actor rasional, didapati bahwa diapora tamil melihat perdamaian sebagai satu kondisi yang diikuti pencapaian negara Tamil Ealam yang independen. Dengan pertimbangan itulah diaspora dapat berperan positif dan negatif.
Konflik yang mengatasnamakan Tamil sebagai etnis minoritas dan Sinhala sebagai etnis mayoritas di muali sejak kemerdekaan Sri Lanka pada 1947. Pada juli 1983, konflik persinggungan antara Tamil dan Sinhala semakin tereskalasi ketika militan tamil membunuh Tamil membunuh 13 tentara Sinhala dalam sebuah operasi penyergapan di wilayah utara. Kematian tentara tersebut membangkitkan kemarahan sinhala dan memicu balas dendam terhadap Tamil. Di tengah diskrimnasi yang semakin gencar serta merebaknya kekerasan anta-Tamil, banyak bermunculan organisasi-organisasi politik dan militer yang memperjuangkan hak-hak etnis-etnis Tamil. Organisasi tersebut berupaya mendapatkan kedaulatan bagi etnis Tamil Sri Lanka yang mencita-citakan keberadaan Tamil Eelam. Organisasi – organisasi seperti Tamil Eelem Liberation Organization (TELO), People’s Revolutionary Liberation Front (EPRLF), dan Liberation Tiger of Tamil Eelem (LTIE) merupakan beberapa kelompok yang cukup berpengaruh dalam sipil. Kelompok militan ini beroprasi dalam berbagai aksi penyergapan polisi, pembunuhan massal, bom bunuh diri, hingga penggunaan wanita dan anak-anak sebagai tentar. Beberapa aksi LTTE bahkan menyerang kalangan elit pemerintah seperti mantan perdana menteri india, Rajiv Gandhi pada 1993. Pada 1999 pun pernah terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sri Lanka, Chandrika Kumaratunga, meski akhirnya gagal.
Kelebihan :
Pembahasan dan pemaparan mengenai konflik Sri Lanka cukup detail
Sehingga dapat mudah dipahami
Kekurangan :
Kekurangan dari jurnal yaitu tidak ada pembahasan awal mula konflik Sri Lanka
Judul jurnal : Peran Diaspora Tamil dalam Konlik Sri Lanka Tahun 2002-2010
Penulis : Fatrakhul Yusa, Program Studi S1 Hubungan Iternasional, Universitas
Airlangga
Sumber Jurnal : JAHI, Vol 3 No. 3 Tahun 2014 Jurnal Analisis Hubungan Internasional
Reivewer : Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Ringkasan Pembahasan :
Diaspora Tamil selalu diidentikkan sebagai alat kampanye militer LTTE yang merupakan organisasi pemberontak Sri Lanka. Afliasi keduanya, selain berasal dari etnis yang sama adalah kontribusi mereka dalam perang sipil Sri Lanka yang telah dimulai sejak 1983. Aktivitas keduanya dinilai telah memperpanjang konflik Sri Lanka, namun peran apa yang sebenarnya dilakukan oleh diaspora Tamil? Dengan menggunakan pendekatan eskalasi dan deeskalasi Kriesberg dan Thorson, serta actor rasional, didapati bahwa diapora tamil melihat perdamaian sebagai satu kondisi yang diikuti pencapaian negara Tamil Ealam yang independen. Dengan pertimbangan itulah diaspora dapat berperan positif dan negatif.
Konflik yang mengatasnamakan Tamil sebagai etnis minoritas dan Sinhala sebagai etnis mayoritas di muali sejak kemerdekaan Sri Lanka pada 1947. Pada juli 1983, konflik persinggungan antara Tamil dan Sinhala semakin tereskalasi ketika militan tamil membunuh Tamil membunuh 13 tentara Sinhala dalam sebuah operasi penyergapan di wilayah utara. Kematian tentara tersebut membangkitkan kemarahan sinhala dan memicu balas dendam terhadap Tamil. Di tengah diskrimnasi yang semakin gencar serta merebaknya kekerasan anta-Tamil, banyak bermunculan organisasi-organisasi politik dan militer yang memperjuangkan hak-hak etnis-etnis Tamil. Organisasi tersebut berupaya mendapatkan kedaulatan bagi etnis Tamil Sri Lanka yang mencita-citakan keberadaan Tamil Eelam. Organisasi – organisasi seperti Tamil Eelem Liberation Organization (TELO), People’s Revolutionary Liberation Front (EPRLF), dan Liberation Tiger of Tamil Eelem (LTIE) merupakan beberapa kelompok yang cukup berpengaruh dalam sipil. Kelompok militan ini beroprasi dalam berbagai aksi penyergapan polisi, pembunuhan massal, bom bunuh diri, hingga penggunaan wanita dan anak-anak sebagai tentar. Beberapa aksi LTTE bahkan menyerang kalangan elit pemerintah seperti mantan perdana menteri india, Rajiv Gandhi pada 1993. Pada 1999 pun pernah terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sri Lanka, Chandrika Kumaratunga, meski akhirnya gagal.
Kelebihan :
Pembahasan dan pemaparan mengenai konflik Sri Lanka cukup detail
Sehingga dapat mudah dipahami
Kekurangan :
Kekurangan dari jurnal yaitu tidak ada pembahasan awal mula konflik Sri Lanka
Selasa, 01 Oktober 2019
Jurnal UU Desa
Judul artikel : Dinamika Kebijakan Pemerintahan Desa di Indonesia Dari Masa ke Masa (Studi Tahun 1979-2015)
Penulis : Zainal
Jurnal yang memuat : Jurnal TAPIs Vol. 12 No. 1 Januari-Juni 2016
Reiewer : Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Ringkasan Pembahasan:
Desa mengalami banyak perubahan arturan namun belum dapat mewadahi semuanya sebagaimana banyak perubahan dalam sejarah pengautaran desa. Ditetapkan yaitu undang-undang nomor 22 tahun 1948 tentang pokok pemerintahan daerah, undang-undang nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-poko pemerintahan daerah. Pada masa orde lama secara spesifik pemerintahan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Pada masa Orde Baru pengaturan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan Undang-Undang 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menjadikan seluruh desa di Indonesia diseragamkan seperti struktur desa di Jawa. Akibatnya, eksistensi masyarakat hukum adat yang berada di luar Jawa mengalami pengurangan.
Pasang surut keadaan pemerintahan desa sekrang ini adalah sebagai akibat pewarisan Undang-Undang lama yang pernah ada, yang mengatur Pemerintahan Desa sejak zaman penjajahan Belanda. Aturan kolonial pertama terkait desa sebagai satuan pemerintahan adalah pada “Staatsblad No. 13 Tahun 1819 yang menjamin terus berlangsungnya hak penduduk desa memilih dan mengganti kepala-nya. Undang Undang tentang Desa memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Menimbang perjalanan sejarah pengaturan perundangundangan desa sejak proklamasi 17 agustus 1945 hingga awal 2014, yang mengalami pasang surut mengikuti arus perubahan dan dinamika politik, mengakibatkan eksistensi desa semakin hari semakin terserus dan terpinggirkan.
Pada masa orde lama secara spesifik pemerintahan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Pada masa Orde Baru pengaturan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan Undang-Undang 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menjadikan seluruh desa di Indonesia diseragamkan seperti struktur desa di Jawa.
Pengaturan yang lebih fokus mengkaji secara sfesipik tentang Desa ialah ketika diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 Desa atau Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Pada tahun 1979 lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang ini mengarah pada keanekaragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional dan Pemerintahan Desa ditetapkan sebagai organisasi pemerintahan terendah dibawah Camat serta berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa.
Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Di dalam Undang-Undang ini, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dengan perjalannnya Desa mendapaykan pengakuan dengan adanya undang-undang Desa. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. UU 6/2014 tentang Desa diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 7 dan Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentan Desa dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495 hari itu juga oleh Menkumham pada tanggal 15 Januari 2014 di Jakarta. . Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan penegasan bawah penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat didasarkan atas Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penulis : Zainal
Jurnal yang memuat : Jurnal TAPIs Vol. 12 No. 1 Januari-Juni 2016
Reiewer : Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Ringkasan Pembahasan:
Desa mengalami banyak perubahan arturan namun belum dapat mewadahi semuanya sebagaimana banyak perubahan dalam sejarah pengautaran desa. Ditetapkan yaitu undang-undang nomor 22 tahun 1948 tentang pokok pemerintahan daerah, undang-undang nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-poko pemerintahan daerah. Pada masa orde lama secara spesifik pemerintahan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Pada masa Orde Baru pengaturan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan Undang-Undang 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menjadikan seluruh desa di Indonesia diseragamkan seperti struktur desa di Jawa. Akibatnya, eksistensi masyarakat hukum adat yang berada di luar Jawa mengalami pengurangan.
Pasang surut keadaan pemerintahan desa sekrang ini adalah sebagai akibat pewarisan Undang-Undang lama yang pernah ada, yang mengatur Pemerintahan Desa sejak zaman penjajahan Belanda. Aturan kolonial pertama terkait desa sebagai satuan pemerintahan adalah pada “Staatsblad No. 13 Tahun 1819 yang menjamin terus berlangsungnya hak penduduk desa memilih dan mengganti kepala-nya. Undang Undang tentang Desa memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Menimbang perjalanan sejarah pengaturan perundangundangan desa sejak proklamasi 17 agustus 1945 hingga awal 2014, yang mengalami pasang surut mengikuti arus perubahan dan dinamika politik, mengakibatkan eksistensi desa semakin hari semakin terserus dan terpinggirkan.
Pada masa orde lama secara spesifik pemerintahan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Pada masa Orde Baru pengaturan desa diatur tersendiri dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menggantikan Undang-Undang 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang ini menjadikan seluruh desa di Indonesia diseragamkan seperti struktur desa di Jawa.
Pengaturan yang lebih fokus mengkaji secara sfesipik tentang Desa ialah ketika diterbitkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965 Desa atau Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batasbatas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Pada tahun 1979 lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang ini mengarah pada keanekaragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional dan Pemerintahan Desa ditetapkan sebagai organisasi pemerintahan terendah dibawah Camat serta berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998, pengaturan mengenai desa mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini secara nyata mengakui otonomi desa. Otonomi yang dimiliki oleh desa menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa. Menurut ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa.
Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Di dalam Undang-Undang ini, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dengan perjalannnya Desa mendapaykan pengakuan dengan adanya undang-undang Desa. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. UU 6/2014 tentang Desa diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 7 dan Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentan Desa dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495 hari itu juga oleh Menkumham pada tanggal 15 Januari 2014 di Jakarta. . Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa merupakan penegasan bawah penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat didasarkan atas Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atas Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Review buku Revolusi dari Desa
Rievew buku “Revolusi dari Desa” Hafif Ma’arif
170110301094
Pemerintah terhadap desa dalam undang-undang produk reormasi memiliki sejumlah keunggulan di bandingkan dengan produk-produk sebelumnya yaitu dengan memberikan ruang bagi pemerintahan daerah dan desa untuk melakukan pembangunan berdasarkan patisipasi masyrakat. Terlebih dengan adanya undang-undang nomor 6 tahun 2014 dimana produk undang-undang ini memberikan aturan mengenai alokasi dana APBNuntuk desa yang di ambil dari 10% dari dana perimbangan yang di terima kabupaten/kota dalam APBD setelah di kurangi dana alokasi khusus (pasal 72 point 1,4) yang besarannya sekitar 1 miliar. Nantinya 72.000 desa di Indonesia akan mendapatkan alokasi dana tersebut pertahunnya. Karena adanya aturan tersebut, maka tugas dari elemen desa adalah mengatur sebaik-baiknya agar terhindar dari penggelapan dana. Keunggulan lainya adalah melibatkan peran masyarakat dalam proses pembangunan desa.
Dalam buku ini, Yansen mengusulkan suatu perubahan paradigma pembangunan yang di haruskan melibatkan masyarakat dalam melakukan pmbangunan. Hal tersebut dikarenakan guguatan terhadap paradigm pembangunan tang selama ini berlaku di pedesaan di seluruh Indonesia yang bersiat topdown. Paradigma partispasi masyarakat ini menghasilkan konsepsi tentang GERDAMA ( GERAKAN DESA MEMBANGUN ) perlunya pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Bahkan pemerintah harus memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan…GERDEMA adalah paradigma baru dalam pembangunan. Konsepsi GERDEMA memiliki cara pandang yang spesifik dan fokus terhadap desa.
Dengan pembangunan yang di okuskan pada desa, Yansen mengembangkan beberapa langkah strategis ( di Malinau ), yaitu percaya penuh terhadap masyarakat, pelimpahan urusan pada pemerintahan desa, membina dan melatih aparatur desa, serta pendapingan pemerintah dan masyarakat desa. Menurut Yansen “Berdasarkan tingkatan-tingkatan ini, diperlukan pemimpin-peminpin yang kompeten dan terampil sesuai dengan tugas pokok dan ungsi yang di embannya”. Pola kepemimpinan yang dibutuhkan untuk mensukseskan GERDAMA yaitu, pembangunan harus mencerminkan identitas kebutuhan masyarakat, pembangunan dilakukan oleh masyarakat, serhat hasil pembangunan yang di lakukan oleh masyarakat.
170110301094
Pemerintah terhadap desa dalam undang-undang produk reormasi memiliki sejumlah keunggulan di bandingkan dengan produk-produk sebelumnya yaitu dengan memberikan ruang bagi pemerintahan daerah dan desa untuk melakukan pembangunan berdasarkan patisipasi masyrakat. Terlebih dengan adanya undang-undang nomor 6 tahun 2014 dimana produk undang-undang ini memberikan aturan mengenai alokasi dana APBNuntuk desa yang di ambil dari 10% dari dana perimbangan yang di terima kabupaten/kota dalam APBD setelah di kurangi dana alokasi khusus (pasal 72 point 1,4) yang besarannya sekitar 1 miliar. Nantinya 72.000 desa di Indonesia akan mendapatkan alokasi dana tersebut pertahunnya. Karena adanya aturan tersebut, maka tugas dari elemen desa adalah mengatur sebaik-baiknya agar terhindar dari penggelapan dana. Keunggulan lainya adalah melibatkan peran masyarakat dalam proses pembangunan desa.
Dalam buku ini, Yansen mengusulkan suatu perubahan paradigma pembangunan yang di haruskan melibatkan masyarakat dalam melakukan pmbangunan. Hal tersebut dikarenakan guguatan terhadap paradigm pembangunan tang selama ini berlaku di pedesaan di seluruh Indonesia yang bersiat topdown. Paradigma partispasi masyarakat ini menghasilkan konsepsi tentang GERDAMA ( GERAKAN DESA MEMBANGUN ) perlunya pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Bahkan pemerintah harus memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan…GERDEMA adalah paradigma baru dalam pembangunan. Konsepsi GERDEMA memiliki cara pandang yang spesifik dan fokus terhadap desa.
Dengan pembangunan yang di okuskan pada desa, Yansen mengembangkan beberapa langkah strategis ( di Malinau ), yaitu percaya penuh terhadap masyarakat, pelimpahan urusan pada pemerintahan desa, membina dan melatih aparatur desa, serta pendapingan pemerintah dan masyarakat desa. Menurut Yansen “Berdasarkan tingkatan-tingkatan ini, diperlukan pemimpin-peminpin yang kompeten dan terampil sesuai dengan tugas pokok dan ungsi yang di embannya”. Pola kepemimpinan yang dibutuhkan untuk mensukseskan GERDAMA yaitu, pembangunan harus mencerminkan identitas kebutuhan masyarakat, pembangunan dilakukan oleh masyarakat, serhat hasil pembangunan yang di lakukan oleh masyarakat.
Review buku Frans Husken
Judul Buku: Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman (Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980)
Penulis: Frans Husken
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 1998)
Jumlah halaman: 434 halaman
Reviewer: Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Husken menggaris bawahi keberadaan struktur sosial masyrakat jawa dan diensiasinya dari zaman ke zaman selalu dipengaruhi oleh keberadaan mode o production yang bertumpu atas tanah. Tanah menjadi sumber utama kemakmuran ekonomi, ketertiban dan keamanan masyarakatnya. Upaya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di daerah tersebut masih terus dipikul oleh pemerintah. Husken menggambarkan sejarah dalam buku ini kedalam beberapa periode, yaitu pada masa kolonial, masa awal kemerdekaan, zaman Rezim Sukarno, zaman Rezim Soeharto dengan kebijakan revolusi hijau, dan perkembangan masyarakat setelah periode tersebut.
Tahun 1920-an, masyarakat Jawa sudah terdiferensiasi ke dalam dua katagori yaitu petani maju dan petani miskin. Pada 1930, krisis ekonomi melanda dunia, berawal di Eropa dan Amerika, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa tanah lagi, tahun 1933 memecat semua pekerja tetap, harga produksi pertanian rakyat anjlok sehingga 80% penduduk kehilangan sumber penghasilan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya difesensiasi sosial yang baru, beberapa petani kehilangan sumber pendapatannya dan merubah status social mereka yang tadinya menempati struktur social sebagai petani yang maju, berubah menjadi petani miskin. Tahun 1942, pendudukan Jepang, kesengsaraan rakyat bertambah karena seperempat sampai sepertiga panen padi disita oleh penguasa jepang guna memasok bahan pangan untuk tentaranya. Kondisi inipun merubah struktur sosial masyarakat Jawa dimana kelas bawah menjadi semakin lebar (banyak).
Pada zaman kemerdekaan terjadi mekanisme diferensiasi sosial. Pada zaman ini terjadi pergeseran kembali dalam struktur sosial masyarakat Jawa. Pada tahun sebelum 1965 orang oran komunis berkuasa, keadaan ini membentuk adanya diferensiasi sosial dimana penganut partai komunis mendapat tempat yang lebih bagus dalam hal kepemilikan tanah. Tuan tanah dirasionalisasikan berdasarkan undang-undang pokok agrarian UUPA 1960 dan dibagi-bagiakan kepada rakyat (petani tidak punya tanah). Alih kekuasaan oleh kaum militer pada Oktober 1965 mengakibatkan terjadinya pengejaran terhadap kaum komunis dan simpatisannya. Petani kaya yang pada waktu kejayaan komunis ikut dalam partai politik komunis, setelah era 1965 an mengalami kejatuhan, sehingga berubah status menjadi petani miskin/ penggarap. Dalam hal perjanjian bagi hasil juga terjadi perubahan yang biasanya 40-50% untuk penggarap, sekarang hanya 1/3. Kondisi ini semakin memperparah tingkat ekonomi petani penggarap (miskin) dan membuat petani kaya semakin kaya.
Dalam mempercepat pembangunan ekonomi di pedesaan, Rezim orde baru melibatkan adanya campur tangan angkatan bersenjata yang disebutnya dwi fungsi ABRI dalam rangka membantu tercapainya swasembada pangan melalui revolusi hijau. Tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada pangan, namun hanya petani kaya yang menerima keuntungan besar sedangkan petani kecil dan buruh tani terdesak keluar sektor pertanian dan terpaksa mencari nafkah di sektor informal di perkotaan. Sejak Agustus 1997, kurs rupiah anjlok 75%, pekerja pada bidang industri di kota terkena PHK, kembali ke desa tanpa uang. Tahun 1998 meletus kerusuhan yang berkaitan dengan situasi pangan, dilaksanakannya pemasyarakatan teknologi dibidang agrobisnis dan agraoindustri, namun teknologi pertanian tersebut menimbulkan ketegangan besar, kesempatan kerja di pedesaan menurun drastis, kesenjangan sosial antara petani kaya dan menengah di satu pihak dengan petani kecil dan buruh tani dipihak lan menjadi lebih lebar. Banyak orang pergi ke pusat industri dan jasa di perkotaan.
Dalam diferensiasi sosial, hal yang mempengaruhi tidak hanya dalam lingkup kebijakan lokal, tetapi juga dalam kebijakan nasional yang berorientasi pada pasar internasional. Kebijakan ekonomi pada masa kolonial, khususnya sebelum tahun 1850, di Kawedanaan Tayu dikembangkan budidaya tebu untuk memasok pabrik gula yang berproduksi guna pasar internasional. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis timbul gejala komersialisasi yang meluas cepat di pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial, akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemodal lain. Berangsur-angsur homogenitas masyarakat melemah dan timbulnya pelapisan sosial bahkan melebar kesenjangan antar lapisan sosial. Selain itu, kegiatan politik dan ekonomi juga bepengaruh terhadap diferensiasi sosial di pedesaan. Politik praktis yang dijalankan masyarakat tidak terlepas dari ideologi yang dianut. Ideologi berkembang untuk membenarkan strategi perjuangan masing-masing golongan, yaitu umat Islam semakin menunjang Nahdatul Ulama sedangkan kaum buruh mendirikan serikat buruh Gula. Dalam proses diferensiasi tersebut, berangsur-angsur kekuatan politik dan ekonomi di pedesaan beralih ke lapisan atas yang semakin menjalin hubungan erat dengan pamong desa dan jajaran birokrasi atas desa.
Kelebihan buku: periode dengan sangat jelas, dilengkapi dengan penggunaan data atau statistik (angka-angka), peta, mudah untuk dipahami
Kekurangan: Terdapat kata atau bahasa yang tidak saya pahami.
Penulis: Frans Husken
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 1998)
Jumlah halaman: 434 halaman
Reviewer: Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Dalam buku ini Frans Husken merekam berbagai perubahan yang terjadi di Pedesaan Jawa, ia juga menempatkan penelitiannya dalam perspektif dan kurun waktu setengah abad (1830-1980). Frans Husken dalam buku ini juga menjelaskan kejadian-kejadian dalam sejarah Indonesia yang penting, seperti kedalam beberapa periode, yaitu seperti perang Dunia II, Proklamasi RI, mempengaruhi masyarakat pedesaan Gondosari. Frans Husken menjelaskan bahwa sejarah Gondosari mempunyai proses komersialisasi dan dirensiasi social yang sudah berjalan sejak lama. Data dari arsip desa di ketahui bahwa 1850 penduduk Gondosari terbagi kedalam tiga kelas utama : 1). Segolongan besar para tuna kisma yang hidupnya tergantung dan terikat pada keluarga-keluarga petani penguasa tanah, sebagian dari tuna kisma itu juga terdiri dari buruh tani musiman yang bebas datang dari desa-desa lain. 2). Golongan petani kelas menengah yang mendapat pembagian tanah tetapi dibebani bermacam-macan kerja rodi. 3). Kelas atas terdiri dari anggota pemerintahan desa yang memiliki tanah sendiri dan mendapat tanah bengkok yang cukup luas dan juga berkuasa mengarahkan tenaga kerja pancen untuk mengerjakan tanah-tanahnya. Pada pertengahan abad ke-19 upah pekerja dan bagi hasil sudah di kenal di desa itu.
Husken menggaris bawahi keberadaan struktur sosial masyrakat jawa dan diensiasinya dari zaman ke zaman selalu dipengaruhi oleh keberadaan mode o production yang bertumpu atas tanah. Tanah menjadi sumber utama kemakmuran ekonomi, ketertiban dan keamanan masyarakatnya. Upaya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di daerah tersebut masih terus dipikul oleh pemerintah. Husken menggambarkan sejarah dalam buku ini kedalam beberapa periode, yaitu pada masa kolonial, masa awal kemerdekaan, zaman Rezim Sukarno, zaman Rezim Soeharto dengan kebijakan revolusi hijau, dan perkembangan masyarakat setelah periode tersebut.
Tahun 1920-an, masyarakat Jawa sudah terdiferensiasi ke dalam dua katagori yaitu petani maju dan petani miskin. Pada 1930, krisis ekonomi melanda dunia, berawal di Eropa dan Amerika, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa tanah lagi, tahun 1933 memecat semua pekerja tetap, harga produksi pertanian rakyat anjlok sehingga 80% penduduk kehilangan sumber penghasilan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya difesensiasi sosial yang baru, beberapa petani kehilangan sumber pendapatannya dan merubah status social mereka yang tadinya menempati struktur social sebagai petani yang maju, berubah menjadi petani miskin. Tahun 1942, pendudukan Jepang, kesengsaraan rakyat bertambah karena seperempat sampai sepertiga panen padi disita oleh penguasa jepang guna memasok bahan pangan untuk tentaranya. Kondisi inipun merubah struktur sosial masyarakat Jawa dimana kelas bawah menjadi semakin lebar (banyak).
Pada zaman kemerdekaan terjadi mekanisme diferensiasi sosial. Pada zaman ini terjadi pergeseran kembali dalam struktur sosial masyarakat Jawa. Pada tahun sebelum 1965 orang oran komunis berkuasa, keadaan ini membentuk adanya diferensiasi sosial dimana penganut partai komunis mendapat tempat yang lebih bagus dalam hal kepemilikan tanah. Tuan tanah dirasionalisasikan berdasarkan undang-undang pokok agrarian UUPA 1960 dan dibagi-bagiakan kepada rakyat (petani tidak punya tanah). Alih kekuasaan oleh kaum militer pada Oktober 1965 mengakibatkan terjadinya pengejaran terhadap kaum komunis dan simpatisannya. Petani kaya yang pada waktu kejayaan komunis ikut dalam partai politik komunis, setelah era 1965 an mengalami kejatuhan, sehingga berubah status menjadi petani miskin/ penggarap. Dalam hal perjanjian bagi hasil juga terjadi perubahan yang biasanya 40-50% untuk penggarap, sekarang hanya 1/3. Kondisi ini semakin memperparah tingkat ekonomi petani penggarap (miskin) dan membuat petani kaya semakin kaya.
Dalam mempercepat pembangunan ekonomi di pedesaan, Rezim orde baru melibatkan adanya campur tangan angkatan bersenjata yang disebutnya dwi fungsi ABRI dalam rangka membantu tercapainya swasembada pangan melalui revolusi hijau. Tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada pangan, namun hanya petani kaya yang menerima keuntungan besar sedangkan petani kecil dan buruh tani terdesak keluar sektor pertanian dan terpaksa mencari nafkah di sektor informal di perkotaan. Sejak Agustus 1997, kurs rupiah anjlok 75%, pekerja pada bidang industri di kota terkena PHK, kembali ke desa tanpa uang. Tahun 1998 meletus kerusuhan yang berkaitan dengan situasi pangan, dilaksanakannya pemasyarakatan teknologi dibidang agrobisnis dan agraoindustri, namun teknologi pertanian tersebut menimbulkan ketegangan besar, kesempatan kerja di pedesaan menurun drastis, kesenjangan sosial antara petani kaya dan menengah di satu pihak dengan petani kecil dan buruh tani dipihak lan menjadi lebih lebar. Banyak orang pergi ke pusat industri dan jasa di perkotaan.
Dalam diferensiasi sosial, hal yang mempengaruhi tidak hanya dalam lingkup kebijakan lokal, tetapi juga dalam kebijakan nasional yang berorientasi pada pasar internasional. Kebijakan ekonomi pada masa kolonial, khususnya sebelum tahun 1850, di Kawedanaan Tayu dikembangkan budidaya tebu untuk memasok pabrik gula yang berproduksi guna pasar internasional. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis timbul gejala komersialisasi yang meluas cepat di pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial, akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemodal lain. Berangsur-angsur homogenitas masyarakat melemah dan timbulnya pelapisan sosial bahkan melebar kesenjangan antar lapisan sosial. Selain itu, kegiatan politik dan ekonomi juga bepengaruh terhadap diferensiasi sosial di pedesaan. Politik praktis yang dijalankan masyarakat tidak terlepas dari ideologi yang dianut. Ideologi berkembang untuk membenarkan strategi perjuangan masing-masing golongan, yaitu umat Islam semakin menunjang Nahdatul Ulama sedangkan kaum buruh mendirikan serikat buruh Gula. Dalam proses diferensiasi tersebut, berangsur-angsur kekuatan politik dan ekonomi di pedesaan beralih ke lapisan atas yang semakin menjalin hubungan erat dengan pamong desa dan jajaran birokrasi atas desa.
Kelebihan buku: periode dengan sangat jelas, dilengkapi dengan penggunaan data atau statistik (angka-angka), peta, mudah untuk dipahami
Kekurangan: Terdapat kata atau bahasa yang tidak saya pahami.
Langganan:
Komentar (Atom)