Penulis: Frans Husken
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 1998)
Jumlah halaman: 434 halaman
Reviewer: Hafif Ma’arif (NIM 170110301094)
Dalam buku ini Frans Husken merekam berbagai perubahan yang terjadi di Pedesaan Jawa, ia juga menempatkan penelitiannya dalam perspektif dan kurun waktu setengah abad (1830-1980). Frans Husken dalam buku ini juga menjelaskan kejadian-kejadian dalam sejarah Indonesia yang penting, seperti kedalam beberapa periode, yaitu seperti perang Dunia II, Proklamasi RI, mempengaruhi masyarakat pedesaan Gondosari. Frans Husken menjelaskan bahwa sejarah Gondosari mempunyai proses komersialisasi dan dirensiasi social yang sudah berjalan sejak lama. Data dari arsip desa di ketahui bahwa 1850 penduduk Gondosari terbagi kedalam tiga kelas utama : 1). Segolongan besar para tuna kisma yang hidupnya tergantung dan terikat pada keluarga-keluarga petani penguasa tanah, sebagian dari tuna kisma itu juga terdiri dari buruh tani musiman yang bebas datang dari desa-desa lain. 2). Golongan petani kelas menengah yang mendapat pembagian tanah tetapi dibebani bermacam-macan kerja rodi. 3). Kelas atas terdiri dari anggota pemerintahan desa yang memiliki tanah sendiri dan mendapat tanah bengkok yang cukup luas dan juga berkuasa mengarahkan tenaga kerja pancen untuk mengerjakan tanah-tanahnya. Pada pertengahan abad ke-19 upah pekerja dan bagi hasil sudah di kenal di desa itu.
Husken menggaris bawahi keberadaan struktur sosial masyrakat jawa dan diensiasinya dari zaman ke zaman selalu dipengaruhi oleh keberadaan mode o production yang bertumpu atas tanah. Tanah menjadi sumber utama kemakmuran ekonomi, ketertiban dan keamanan masyarakatnya. Upaya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di daerah tersebut masih terus dipikul oleh pemerintah. Husken menggambarkan sejarah dalam buku ini kedalam beberapa periode, yaitu pada masa kolonial, masa awal kemerdekaan, zaman Rezim Sukarno, zaman Rezim Soeharto dengan kebijakan revolusi hijau, dan perkembangan masyarakat setelah periode tersebut.
Tahun 1920-an, masyarakat Jawa sudah terdiferensiasi ke dalam dua katagori yaitu petani maju dan petani miskin. Pada 1930, krisis ekonomi melanda dunia, berawal di Eropa dan Amerika, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa tanah lagi, tahun 1933 memecat semua pekerja tetap, harga produksi pertanian rakyat anjlok sehingga 80% penduduk kehilangan sumber penghasilan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya difesensiasi sosial yang baru, beberapa petani kehilangan sumber pendapatannya dan merubah status social mereka yang tadinya menempati struktur social sebagai petani yang maju, berubah menjadi petani miskin. Tahun 1942, pendudukan Jepang, kesengsaraan rakyat bertambah karena seperempat sampai sepertiga panen padi disita oleh penguasa jepang guna memasok bahan pangan untuk tentaranya. Kondisi inipun merubah struktur sosial masyarakat Jawa dimana kelas bawah menjadi semakin lebar (banyak).
Pada zaman kemerdekaan terjadi mekanisme diferensiasi sosial. Pada zaman ini terjadi pergeseran kembali dalam struktur sosial masyarakat Jawa. Pada tahun sebelum 1965 orang oran komunis berkuasa, keadaan ini membentuk adanya diferensiasi sosial dimana penganut partai komunis mendapat tempat yang lebih bagus dalam hal kepemilikan tanah. Tuan tanah dirasionalisasikan berdasarkan undang-undang pokok agrarian UUPA 1960 dan dibagi-bagiakan kepada rakyat (petani tidak punya tanah). Alih kekuasaan oleh kaum militer pada Oktober 1965 mengakibatkan terjadinya pengejaran terhadap kaum komunis dan simpatisannya. Petani kaya yang pada waktu kejayaan komunis ikut dalam partai politik komunis, setelah era 1965 an mengalami kejatuhan, sehingga berubah status menjadi petani miskin/ penggarap. Dalam hal perjanjian bagi hasil juga terjadi perubahan yang biasanya 40-50% untuk penggarap, sekarang hanya 1/3. Kondisi ini semakin memperparah tingkat ekonomi petani penggarap (miskin) dan membuat petani kaya semakin kaya.
Dalam mempercepat pembangunan ekonomi di pedesaan, Rezim orde baru melibatkan adanya campur tangan angkatan bersenjata yang disebutnya dwi fungsi ABRI dalam rangka membantu tercapainya swasembada pangan melalui revolusi hijau. Tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada pangan, namun hanya petani kaya yang menerima keuntungan besar sedangkan petani kecil dan buruh tani terdesak keluar sektor pertanian dan terpaksa mencari nafkah di sektor informal di perkotaan. Sejak Agustus 1997, kurs rupiah anjlok 75%, pekerja pada bidang industri di kota terkena PHK, kembali ke desa tanpa uang. Tahun 1998 meletus kerusuhan yang berkaitan dengan situasi pangan, dilaksanakannya pemasyarakatan teknologi dibidang agrobisnis dan agraoindustri, namun teknologi pertanian tersebut menimbulkan ketegangan besar, kesempatan kerja di pedesaan menurun drastis, kesenjangan sosial antara petani kaya dan menengah di satu pihak dengan petani kecil dan buruh tani dipihak lan menjadi lebih lebar. Banyak orang pergi ke pusat industri dan jasa di perkotaan.
Dalam diferensiasi sosial, hal yang mempengaruhi tidak hanya dalam lingkup kebijakan lokal, tetapi juga dalam kebijakan nasional yang berorientasi pada pasar internasional. Kebijakan ekonomi pada masa kolonial, khususnya sebelum tahun 1850, di Kawedanaan Tayu dikembangkan budidaya tebu untuk memasok pabrik gula yang berproduksi guna pasar internasional. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis timbul gejala komersialisasi yang meluas cepat di pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial, akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemodal lain. Berangsur-angsur homogenitas masyarakat melemah dan timbulnya pelapisan sosial bahkan melebar kesenjangan antar lapisan sosial. Selain itu, kegiatan politik dan ekonomi juga bepengaruh terhadap diferensiasi sosial di pedesaan. Politik praktis yang dijalankan masyarakat tidak terlepas dari ideologi yang dianut. Ideologi berkembang untuk membenarkan strategi perjuangan masing-masing golongan, yaitu umat Islam semakin menunjang Nahdatul Ulama sedangkan kaum buruh mendirikan serikat buruh Gula. Dalam proses diferensiasi tersebut, berangsur-angsur kekuatan politik dan ekonomi di pedesaan beralih ke lapisan atas yang semakin menjalin hubungan erat dengan pamong desa dan jajaran birokrasi atas desa.
Kelebihan buku: periode dengan sangat jelas, dilengkapi dengan penggunaan data atau statistik (angka-angka), peta, mudah untuk dipahami
Kekurangan: Terdapat kata atau bahasa yang tidak saya pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar